RADARTRENGGALEK.COM – Menyongsong pemilihan umum daerah serentak pada akhir November mendatang, salah satu isu yang menjadi perhatian publik adalah bagaimana komitmen calon pimpinan daerah terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Kasus korupsi masih menjadi masalah pelik yang menghiasi jalannya tata kelola sejumlah lembaga negara, baik di level pusat maupun daerah.
Secara nasional, sejatinya Indonesia memperlihatkan stagnansi dalam mencegah dan memberantas korupsi dalam satu dekade terakhir.
Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency International, Indonesia mendapatkan nilai 34 dari 100 di tahun 2023. Perolehan nilai ini menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara. Yang menarik, nilai Indonesia tahun ini kembali ke kondisi pencegahan dan pemberantasan korupsi sepuluh tahun yang lalu ketika juga mendapatkan skor 34 di tahun 2014.
Di level nasional, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sebenarnya memiliki pengukuran tersendiri, salah satunya Survei Penilaian Integritas (SPI). SPI tidak hanya mengukur bagaimana praktik menjaga integritas tata kelola pemerintahan dari sudut pandang pegawai internal pemerintah.
Dalam prosesnya, SPI juga melibatkan aktor eksternal, misalnya vendor/penyedia jasa yang menjadi mitra daerah, serta eksper di bidang antikorupsi.
Sayangnya, hasil SPI tahun 2023 juga menunjukkan penurunan skor integritas yang mana secara nasional Indonesia hanya memperoleh skor 70,97% alias masuk dalam kategori rentan dibandingkan tahun 2020 sebesar 82,6% atau kategori terjaga.
Dalam konteks yang lebih lokal, tidak semua daerah di Indonesia mengalami penurunan skor yang berhubungan dengan kebijakan antikorupsi.
Kabupaten Trenggalek menjadi salah satu contoh positif di tengah stagnansi nasional terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Hasil SPI Trenggalek berhasil memperoleh skor yang lebih baik dibandingkan rata-rata nasional di tahun 2023 yaitu sebesar 80,03% atau kategori terjaga. Perolehan ini tidak akan dapat dicapai oleh Pemerintah Kabupaten Trenggalek tanpa adanya komitmen kuat di level daerah dalam menjaga integritas tata kelola pemerintahan.
Menurut pemenang hadiah Nobel di bidang ekonomi Prof. Daron Acemoglu, sejatinya proses demokrasi bukan hanya terjadi pada saat pemilihan umum saja.
Sistem pemilihan umum yang demokratis harus dibarengi dengan tata kelola pemerintahan yang juga menganut asas-asas demokratis seperti transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan integirtas, terutama dalam mengawal semangat reformasi birokasi.
Dalam bukunya yang berjudul Why Nations Fail, sebuah negara bisa saja gagal walaupun menerapkan sistem demokrasi dalam kontestasi politiknya, terutama apabila institusi ekonomi dan institusi politik yang ada menerapkan kebijakan yang ekstraktif dan tidak inklusif.
Dalam Why Nations Fail, institusi ekonomi dan insitutsi politik yang ekstraktif dirancang untuk mengambil sumber daya dari mayoritas masyarakat dan mengonsentrasikannya pada segelintir elit yang berkuasa.
Institusi ekstraktif ini tidak mendorong partisipasi luas, akses yang adil terhadap sumber daya, atau insentif bagi masyarakat untuk berinovasi dan meningkatkan kesejahteraan secara merata.
Sebaliknya, mereka mempertahankan kekuasaan kelompok elit melalui kebijakan yang membatasi kesempatan ekonomi bagi masyarakat umum, sehingga meningkatkan ketergantungan mereka pada kekuasaan politik.
Kebijakan ekstraktif cenderung menumbuhkan perilaku korupsi karena pengelolaan sumber daya sering kali tidak transparan dan hanya menguntungkan kelompok tertentu, sementara mekanisme kontrol publik dan akuntabilitas ditekan atau dilemahkan. Akibatnya, korupsi menjadi bagian integral dari sistem, di mana kepentingan pribadi dan kelompok diprioritaskan di atas kepentingan masyarakat luas.
Oleh karenanya diperlukan upaya pembangunan inklusif agar ada perbaikan tata kelola pemerintahan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Lantas bagaimana model kebijakan inklusif diterapkan di daerah? Kabupaten Trenggalek misalnya mencerminkan komitmen kuat pada tata kelola yang transparan dan akuntabel.
Dengan peningkatan Indeks Desa Membangun dari 0,72 menjadi 0,79 serta Indeks Reformasi Birokrasi dari 66,91 menjadi 78,24, Trenggalek memperlihatkan bagaimana institusi yang inklusif mampu memperluas akses dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Komitmen ini terlihat dari berbagai inisiatif, seperti penyederhanaan proses perizinan yang berhasil menerbitkan 2.000 izin dan 11.000 Nomor Induk Berusaha (NIB) per tahun, serta memastikan seluruh penduduk memiliki KTP untuk menjamin akses layanan yang adil.
Pemerintah Kabupaten Trenggalek juga berusaha melayani semua kalangan masyarakat melalui penyediaan mall pelayanan publik yang tidak hanya tersedia dalam bentuk fisik yang sulit dijangkau masyarakat pegunungan dan pesisir.
Konsep mall pelayanan publik juga tersedia secara digital juga memiliki mekanisme proaktif untuk menjemput bola ke desa. Hal ini akan memudahkan akses bagi masyarakat di wilayah terpencil.
Langkah ini sejalan dengan prinsip inklusivitas yang mengutamakan transparansi dan partisipasi masyarakat, berlawanan dengan karakteristik kebijakan ekstraktif yang diuraikan oleh Acemoglu dalam Why Nations Fail.
Kebijakan yang inklusif seperti ini menciptakan iklim ekonomi yang lebih terbuka dan mengurangi ketergantungan pada elite tertentu, sehingga meminimalkan peluang korupsi. Selain itu, dukungan bagi UMKM dan program beasiswa untuk masyarakat difabel memperkuat komitmen pemerintah daerah untuk memberdayakan kelompok rentan secara merata, menciptakan tatanan pemerintahan yang lebih bersih dan adil bagi seluruh warganya.
Apabila hal ini dilaksanakan secara konsisten, niscaya tata kelola yang melayani, bersih, dan antikorupsi akan menguat.
Kesuksesan Trenggalek dalam pengukuran antikorupsi dapat menjadi salah satu praktik baik kebijakan inklusif dan tata kelola yang baik dalam upaya membangun pemerintahan bersih di level daerah.
Dengan langkah-langkah konkret seperti meningkatkan akses layanan publik, memperluas kesempatan ekonomi bagi masyarakat, serta memastikan keterlibatan seluruh lapisan masyarakat, akan tercipta menciptakan iklim pemerintahan yang berintegritas.
Komitmen pimpinan pada antikorupsi dan tata kelola inklusif adalah benteng yang harus diperkuat untuk mengatasi upaya pemberantasan korupsi yang kian mengalami kemunduran di negeri ini. Semoga pimpinan daerah baru yang akan terpilih nanti berkomitmen dan akan menjalankan prinsip-prinsip tersebut.
Oleh : Agie Nugroho Soegiono
Dosen Kebijakan Publik Universitas Airlangga