RADARTRENGGALEK.COM – Pelestarian lingkungan merupakan salah satu wacana yang terus naik di tingkat nasional Indonesia maupun global. Salah satu topik yang menjadi sorotan global adalah masalah deforestasi.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan luas deforestasi (netto) Indonesia tahun 2021-2022 adalah seluas 104 ribu ha. Sementara deforestasi bruto nasional adalah seluas 119,4 ribu ha dikurangi reforestasi sebesar 15,4 ribu ha.
Faktor utama penyebab deforestasi diantaranya adalah perkebunan milik rakyat dan perusahaan, penebangan ilegal, kebakaran hutan, pengembangan infrastruktur, dan perluasan areal pertanian.
Secara umum kerusakan hutan berdampak langsung pada kehilangan keanekaragaman hayati dan peningkatan emisi karbon. Pada jangka panjang kerusakan ekosistem lingkungan berdampak pada kerusakan perekonomian komunitas lokal.
Upaya-upaya pembangunan ramah lingkungan yang bersifat top-down sulit untuk mencapai hasil maksimal tanpa keterlibatan aktif entitas sosial dan politik lokal. Pertanyaan kemudian muncul terkait bagaimana membangun basis agenda politik lingkungan yang mampu bersinergi dengan perekonomian daerah yang didominasi oleh sektor pertanian.
Pada tingkat nasional, wacana Pertanian Berkelanjutan dikeluarkan oleh kementerian pertanian pada tahun 2022. Akan tetapi fokus pemerintah pusat, khususnya Kementerian Pertanian masih belum jelas dan tidak menemui kesuksesan.
Ini terlihat dari pengelolaan dan pengintegrasian beragam aktor yang ada. Kebijakan nasional ini tidak menunjukkan hasil empiris dalam mengatasi kemiskinan dari sektor agraris.
Di sisi lain, wacana lingkungan melalui Sustainable Development Goals (SDGs) yang mendukung agenda lingkungan dalam wacana ini belum diterjemahkan dengan baik oleh pemerintah pusat.
Salah satu contoh nyata dapat diambil melalui sentralisasi perencanaan food estate nasional yang kacau dan gagal menuai panen yang memuaskan misalnya di Kalimantan dan Papua. Tidak sedikit di berbagai daerah, implementasi kebijakan food estate nasional tidak tepat guna pada urusan lahan.
Hal ini tidak hanya merugikan secara ekonomis bagi para petani, tetapi juga memiliki dampak destruktif pada lingkungan secara jangka pendek dan panjang. Keputusan pemerintahan baru Prabowo Subianto dalam melanjutkan agenda ini perlu dikritisi. Penguatan sektor pertanian perlu dilakukan secara bottom-up dengan pemerintah daerah sebagai aktor kunci.
Langkah Kabupaten Trenggalek dalam mengharmonisasi pembangunan khususnya di sektor pertanian patut diapresiasi. Berdasarkan ekosistem alami yang telah ada, sektor pertanian Trenggalek memiliki potensi sangat besar untuk mengembangkan perekonomian ramah lingkungan.
Pada dasarnya wacana ini harus dikaitkan secara langsung dengan upaya peningkatan kesejahteraan petani dan para pekerja di sektor pertanian lainnya. Sektor pertanian Trenggalek memiliki posisi yang sangat penting sebagai sektor ekonomi rakyat.
Sektor Pertanian bersama Kehutanan, dan Perikanan merepresentasikan 25,98 persen pertumbuhan ekonomi daerah ini, kemudian disusul oleh sektor Industri Pengolahan sebesar 18,51 persen.
Di Trenggalek, para petani secara umum berfokus di beberapa komoditas diantaranya padi, jagung, dan hortikultura. Sektor pertanian sangat penting untuk dimajukan karena telah memiliki potensi yang sangat besar dan memiliki ikatan yang sangat kuat secara sosio-kultural dengan Rakyat Trenggalek.
Kabupaten Trenggalek di bawah kepemimpinan Bupati Mochamad Nur Arifin dan Syah Muhammad Natanegara berani menargetkan Net Zero Emisson di 2045.
Langkah ini perlu dicermati secara positif sebagai upaya nyata pembangunan daerah berbasis lingkungan yang pada jangka panjang akan memperkuat realisasi agenda-agenda Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia.
Beberapa agenda pro lingkungan dalam SDGs diantaranya, Goal 6: Clean Water and Sanitation, Goal 7: Affordable and Clean Energy, Goal 11: Sustainable Cities and Communities, Goal 14: Life Below Water, dan Partnerships for the Goals (mendorong kerjasama global untuk mencapai environmental sustainability).
Namun demikian, agenda ini tentu tidak akan bisa dicapai hanya melalui proses politik sentralistis pemerintah pusat yang berbasis di Ibukota, mengingat luasnya wilayah Indonesia.
Langkah awal Kabupaten Trenggalek Patut diapresiasi. Trenggalek menautkan berbagai aktor mulai dari praktisi hingga akademisi untuk memberikan pertimbangan dan menjadi aktor utama secara sinergis untuk mencapai Net Zero Carbon.
Trenggalek mendorong beberapa upaya rintisan diantaranya penggunaan sepeda, penggunaan Renewable Energy, peningkatan energi hijau, skema fiskal berupa carbon trading, pembangunan kebun raya bambu di Kecamatan bendungan, dan penghijauan melalui penanaman mangrove. Melalui kepemimpinan Bupati Arifin, Trenggalek mewacanakan pertanian yang mempertimbangkan Net Zero Carbon dan wacana ini sangat penting.
Agenda rintisan ini diwujudkan misalkan dalam bentuk promosi dan perluasan penggunaan pupuk organik dan promosi penggunaan metode lahan hemat air untuk pertanian.
Pada dasarnya Agenda ini tidaklah instan karena pada akhirnya akan melibatkan banyak aktor dan sumber daya untuk implementasi yang lebih luas dan besar, meski demikian langkah tersebut perlu diapresiasi dan menjadi contoh daerah-daerah lainnya.
Keterbatasan sumber daya daerah bukanlah halangan, karena inti dari politik pembangunan adalah merealisasikan keadilan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Dengan mencakup sektor pertanian, politik lingkungan berbasis daerah akan menemukan nyawanya karena di situ akan menyangkut langsung kehendak umum rakyat Trenggalek yang didominasi oleh sektor agraris.
Sektor pertanian berbasis lingkungan akan lebih berdampak positif terhadap keberpihakan terhadap ekonomi rakyat dan peningkatan signifikansi agenda politik lingkungan secara bottom-up dibandingkan sektor ekstraktif seperti pertambangan dan pengeboran minyak yang tata kelolanya jauh dari aktor lokal terlebih setelah diadopsinya UU no. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Minerba.
Selain itu sektor-sektor ekstraktif juga sulit untuk memunculkan dampak langsung pada perekonomian rakyat. Sektor pertanian telah memiliki akarnya pada rakyat Trenggalek.
Pada langkah lebih lanjut, konsolidasi untuk mendorong UMKM dan industri pengolahan akan sangat diperlukan guna menunjang pertanian. Pemerintah daerah tidak mungkin merealisasikannya sendiri.
Selain petani dan pekerja di sektor pertanian, sektor swasta dapat memainkan peran krusial. Akan tetapi, Pemerintah harus mampu menyatukan berbagai visi dan agenda dengan berbagai aktor untuk merealisasikan perekonomian Net Zero Carbon berbasis pertanian.
Selain itu, relasi baik antara pemerintah dan akademisi di lingkungan kampus akan sangat fundamental dalam menelurkan beragam inovasi kebijakan pertanian yang ramah lingkungan.
Pelibatan beragam aktor akan dapat memecahkan pula berbagai rintangan yang mungkin terus muncul. Strategi pembangunan ekonomi ini dapat menjadi jawaban atas tantangan pembangunan top-down pada perekonomian daerah yang menitikberatkan pada kelestarian lingkungan.
Pelibatan aktif petani dalam inovasi ini akan meningkatkan signifikansi wacana ini. Peningkatan nilai tambah pertanian ramah lingkungan, tentu tidak hanya meningkatkan kesejahteraan petani dan para pekerja di sektor pertanian, tetapi juga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah secara luas.
Selain itu, sektor ekonomi rakyat ini dapat menjadi tulang punggung dalam mengatasi masalah kemiskinan dan ketersediaan nutrisi untuk rakyat.
Pada tataran nasional akan menjawab masalah kelangkaan kebutuhan pangan dan berbagai potensi resiko yang mungkin muncul. Langkah ini akan membutuhkan penyusunan dan implementasi manajemen resiko pembangunan pertanian yang terencana.
Penguatan pembangunan pertanian Trenggalek ini dengan berbasis pada lingkungan akan memberikan manfaat jangka panjang dan menjaga alam terus lestari.
Oleh:
Irfa’i Afham
(Dosen FISIP Universitas Airlangga)